Pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali. Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam pengelolaan suatu bank.[1] Hal tersebut semakin diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum, lemahnya penegakan hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada akhirnya terjadi penyimpangan dari praktik ekonomi pasar yang mengakibatkan semakin lemahnya fondasi perekonomian nasional[2].
Salah satu bentuk penyimpangan dalam praktik perbankan[3] yang cukup fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Bank Global Tbk. Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif[4].
Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak pidana perbankan, tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang perbankan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada satu Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang perbankan.
Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan? Kemudian , dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi?
Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut[1].
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.
Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi. Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische.
Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam istilah Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa mengonsumir, mendesak dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan (lex consumens derogat legi consumtae).
Disinilah hal yang menjadi keberatan penulis terhadap putusan Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara semena-mena, tanpa mempertimbangkan dampak ketidak pastian hukum yang ditimbulkan dalam putusan tersebut[2].
Padahal, apabila kita merujuk sejarah lahirnya undang-undang perbankan[3], jelas terlihat bahwa lahirnya Undang-undang Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan Kejahatan Perbankan dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.[4]
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan agar kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran bersama” bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun 1971, lebih merupakan kehendak politik (political will) pemerintah untuk memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu perundang-undangan. Terlebih, dalam perdebatan-perdebatan mengenai rancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Konsekwensi yuridis selalu dilupakan.[5]
Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes,
The paradigm now constituted a problem rather than a solution : not waiving but drowning. The public prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere[6].
Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut.
Dari perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus perkara lebih menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan negara ketimbang pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan. Padahal unsur kerugian keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa diperdebatkan[7].
Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penulis ingin mengatakan bahwa penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi.
Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Padahal, menurut Lili Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori pokok : Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan masyarakat), private interst (kepentingan pribadi)[8].
Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa hal, yaitu :
Pertama ; penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena disamping perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak berkualifikasi tindak pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga hal yang seharusnya dipertanggungjawab kan kepada pelaku tidak dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan).
Kedua, pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan pengadilan sama sekali mengabaikan asas-asas hukum pidana, sehingga terkesan hakim bebas menerapkan semua ketentuan perundang-undangan selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum.
Ketiga, menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain undang-undang ini tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem hukum.
Keempat, menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.
[1] Chairul Huda, Op., cit
[2] Dalam putusan baik di Pengdilan Negeri Jakarta Selatan Mupun di MA, pada akhirnya Mahkamah Agung telah membuat suatu ukuran penerapan hukum pertanggungjawaban pidana, yang tidak berdasarkan suatu ketentuan sytimathice specialite. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum pengadilan Negeri dan MA (seperti disebutkan diatas) yang sama sekali tidak memperhatikan ketentuan udang-undang perbankan, khususnya pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang secara khusus mengatur delik yang dilakukan oleh Neloe
[3] UU No 7 Tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998
[4] Lahirnya Undang-undang Perbankan salah satunya disebapkan karena adanya putusan Mahkamah Agung Terhadap Kasus Bank Duta. Kasus yang menyita perhatian masyarakat tersebut menjadi ”kontroversi” karena Mahkamah Agung dianggap telah melakukan analogi dalam hal pengertian merugikan keuangan negara. Dimana MA berpendapat sebagai berikut :
”telah terbukti walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta, tetapi karena telah menerima/menggunakan dana-dana yang bersal dari masyarakat yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka undang-undang korupsi dapat diterapkan dalam perkara ini”.
Sehingga muncul pendapat dan desakan agar dilahirkan suatu Undang-undang Perbankan, dan pada tahun 1992 lahirlah undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Komariah Emong, Op., Cit. Hal. 208 dan 209
[5] Ibid. hal 208
[6] Davit Downes, dalam Komariah Emong. Ibid.
[7] menurut saksi Nanik Purwati saksi ahli dari BI menerangkan walaupun modal yang dimiliki si pemohon jauh dibawah nilai kredit yang diajukan akan tetapi setelah melakukan analisa terhadap permohonan tersebut, bank .memperoleh keyakinan bahwa kredit tersebut dapat dilunasi, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perkreditan yang berlaku. Lebih lanjut menurut keterangan ahli dari BPKP yakni Muhammad Yusuf dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam rapat umum pemegang saham ternyata tidak ada kerugian yang dialami Bank Mandiri maka berarti juga tidak kerugian yang dialami oleh Negara.
sumber :http://raspati.blogspot.com