Permberitaan seputar penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan, kembali memicu diskursus hukum untuk menjawab maraknya kasus korupsi dan penggelapan dikalangan pejabat Negara. Sebagaimana watak hukum (character of law) yang senantiasa berubah dan bergerak maju (law in the making), maka mencuatlah kembali salah satu metode penyelesaian secara hukum yang kita sebut dengan “asas pembuktian terbalik” (omkering van de bewijslast). Ini merupakan salah satu bentuk tawaran solusi upaya penanganan kasus penggelapan, korupsi dan tindak pindana pencucian uang (money laundry), khususnya di kalangan pejabat birokrasi kita.
Menjawab Kontradiksi Asas
Menjawab Kontradiksi Asas
Asas pembuktian terbalik sempat mencuat dan menjadi perdebatan panjang dimasa Pemerintahan Gus Dur. Ketika itu, Gus Dur mengajukan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengenai pembuktian terbalik, dalam penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun berbagai kalangan merasa pesimis, akibat anggapan bahwa asas pembuktian terbalik melanggar hak-hak dasar seseorang yang dibentengi oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Meski disambut terbuka dari berbagai pihak, namun Perpu ini akhirnya dibatalkan. Upaya yang sama juga pernah dilakukan oleh KPK. Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, KPK mengusulkan penggunaan asas pembuktian terbalik pada tahun 2004 silam. Akan tetapi, hingga saat ini usulan tersebut kunjung tidak terealisasi. Banyak factor yang kemudian menjadi hambatan dalam upaya memasukkan mekanisme pembuktian terbalik dalam system hukum kita, antara lain :
Pertama, bahwa kewajiban beban pembuktian terbalik, tidaklah dikenal dalam system hukum kita. Celah untuk menggunakan asas pembuktian terbalik, telah dikunci rapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita. Pada pasal 66 KHUP ditegaskan bahwa, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Dengan demikian, seseorang yang telah disangkakan telah melakukan tindak pidana, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan bebab pembuktian terbalik.
Kedua, Penggunakan asas pembuktian terbalik, dianggap melanggar hak-hak dasar seseorang. Terlebih jika hal tersebut dikaitkan dengan asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum (non self incrimination). Pasal 14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”.
Ketiga, adanya problematika hukum, yakni meski celah untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik, terdapat pada sejumlah klausul Undang-undang kita, namun secara universal berlaku asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” atau peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah, harus tunduk kepada peraturan hukum yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, peraturan tersebut tidak boleh melanggar ketentuan yang berada diatasnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menyebutkan bahwa, jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri dari : UUD 45, UU/Perpu, PP, Perpres dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, aturan dalam bentu apapun untuk mengakomodasi asas pembuktian terbalik, akan dipersoalkan sebab melanggar ketentuan UUD 45 sebagai dasar tertinggi dalam penyelenggaraan hukum Negara kita.
Mencari Celah Hukum
Meski asas pembuktian terbalik, dianggap kontradiktif dengan kitab undang-undang kita, namun terdapat beberapa aspek hukum yang patut dijadikan pertimbangan dalam pemberantasan tindak pidana penggelapan, korupsi dan pencucian uang. Asas pembuktian terbalik, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pasal 37 ayat (1), ddikatakan bahwa, “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik bisa dikatakan setengah hati, dengan tetap membebankan pembuktian kepada jaksa pentuntu, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann dakwaannya”.
Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa, “Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pembuktian Terbalik Bagi Pejabat Penyelenggara Negara
Jika beban pembuktian terbalik, diakomodasi dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, akan tetapi tetap dianggap bertentangan dengan aspek HAM, khususnya menyangkut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), lantas bisakah beban pembuktian terbalik diberlakukan ke dalam system hukum kita?. Jawaban dari pertanyaan ini, tentu saja mengacu konteks dan situasinya. Jika beban pembuktian terbalik diberlakukan pada kasus penyalahgunaan uang Negara (penggelapan, korupsi, pencucian uang), maka tidak ada alasan untuk menolak pemberlakukan beban pembuktian terbalik ini. Hal tersebut dapat dikuatkan dalam bebarapa alasan, antara lain :
Pertama, bahwa pejabat penyelenggara Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang dimilikinya baik sebelum, sementara dan sesudah menjabat. Hal ini diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, pasal 5 ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”. Dengan demikian, beban pembuktian terbalik dapat diberlakukan sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan uang Negara lainnya. Perlu diingat bahwa, beban pembuktian terbalik ini disyaratkan bagi seseorang yang melekat pada dirinya kewajiban sebagai pejabat penyelenggara Negara, bukan dirinya sebagai personal.
Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya pulalah asas pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa pula, meski bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah. Logika hukum (logic of law), adalah prinsip yang penting untuk menguatkan posisi ini. Dimana kita dapat belajar dari upaya pemberantasan korupsi dengan membangun suatu komisi Negara (baca: KPK), dengan sejumlah kewenangan yang bersifat diluar kaedah-kaedah hukum pada umumnya. Misalnya kewenangan penuntutan, yang sebelumnya hanya menjadi beban jaksa penuntut, namun melalui UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka KPK diberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan.lembaga penuntut kita yang cenderung mandul dalam menyelesaikan perkara korupsi (Pasal 6 huruf c). Dengan demikian, upaya pemberlakukan beban pembuktian terbalik, juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar biasa dalam membangun system penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Ketiga, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan untuk dirinya sendiri, namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan dan pencucian uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, merupakan tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, aturan hukum yang bersifat status quois, perlu untuk ditinjau ulang dengan tidak hanya terpatok kepada aturan-aturan teks semata. Jika system aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan masyarakat, maka adalah keharusan kita untuk mencari jalan keluar dengan memberlakukan asas pembuktian terbalik sebagai wujud keberhipakan hukum di Negara kita. Progresifitas hukum harus kita pandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan keadilan secara utuh.
Herdiansyah Hamzah*