Tahun ini Wilmar Corp. membangun pabrik biodiesel dengan total kapasitas produksi 1,050 juta ton per tahun atau terbesar di dunia. Pendiri Wilmar Corp. adalah Martua Sitorus, orang terkaya ke-14 di Indonesia versi majalah Forbes tahun 2006. Siapakah dia sesungguhnya? Bagaimana pria 46 tahun ini bisa menjadi produsen biodiesel terbesar di dunia?
Selasa (9/1) lalu, lobi gedung Departemen ESDM di Jakarta tampak lebih ramai dari biasanya. Berkumpul di situ sejumlah menteri di bidang perekonomian, eksekutif puncak perusahaan besar, bankir papan atas, dan investor asing kelas kakap. Di antaranya ada Franky O. Widjaja (CEO PT SMART Tbk.), Edhie Widiono (dirut PT PLN), Agus Martowardojo (dirut Bank Mandiri), dan Sigit Pramono (dirut Bank BNI). Hadir pula sejumlah gubernur dan bupati dari berbagai daerah.
Ada apa gerangan?
Hari itu Kementerian ESDM sedang menggelar acara penting, yakni penandatanganan naskah kerja sama pengembangan bahan bakar nabati antarberbagai perusahaan, bank, investor, pemerintah daerah, lembaga penelitian, UKM, dan LSM yang sama-sama memiliki minat mengembangkan industri bahan bakar nabati nasional. Lebih dari 250 tamu undangan hadir menyaksikannya. “Ini saat yang bersejarah,” ujar Al Hilal Hamdi, ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati selaku penyelenggara acara.
Al Hilal agaknya tak berlebihan. Acara itu merupakan wujud nyata implementasi kebijakan energi nasional yang menargetkan pada tahun 2025 peranan jenis energi biofuel (bahan bakar nabati) terhadap konsumsi energi nasional menjadi lebih dari 5% (Peraturan Presiden No. 5/2006). Apalagi penandatanganan kerja sama itu menghasilkan total 67 kontrak komitmen investasi senilai US$12,4 miliar untuk pengembangan industri bahan bakar nabati nasional dari hulu (perkebunan) hingga hilir (pabrik).
Namun, ada yang lebih istimewa pada acara itu. Dalam kata sambutannya, Al Hilal Hamdi memberi perhatian khusus kepada perusahaan swasta, Wilmar Corporation, yang tengah membangun kompleks pabrik biodiesel (salah satu jenis biofuel) dengan kapasitas produksi 350 ribu ton per tahun dan akan meningkat hingga 1 juta ton per tahun pada akhir 2007. Kompleks pabrik yang berlokasi di Dumai, Riau, itu direncanakan akan mulai berproduksi pada Februari 2007. “Ini akan menjadi pabrik biodiesel terbesar di dunia dalam satu kompleks,” kata Al Hilal.
Siapakah Wilmar Corporation ini?
Sosok Wilmar dan Martua Sitorus
Di pentas bisnis nasional, nama kelompok usaha ini mungkin kurang familier. Padahal, Wilmar termasuk perusahaan agrobisnis terbesar di Asia, mulai dari penguasaan lahan, pabrik pengolahan, hingga perdagangannya. Dan, walaupun berbasis di Singapura, sejatinya sebagian besar aktivitas produksinya berada di Indonesia. Di negeri ini, Wilmar memiliki sekitar 48 perusahaan operasional. Salah satunya adalah PT Multimas Nabati Asahan, yang memproduksi minyak goreng bermerek Sania. Pada akhir 2005, kelompok usaha yang resminya bernama Wilmar International Limited ini memiliki total aset US$1,6 miliar, total pendapatan US$4,7 miliar, dan laba bersih US$58 juta.
Lebih dari itu, pendiri Wilmar adalah orang Indonesia bernama Martua Sitorus. Lelaki yang baru berusia 46 tahun ini berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia adalah sarjana ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara.
Awalnya Martua berdagang minyak sawit dan kelapa sawit kecil-kecilan di Indonesia dan Singapura. Lama-kelamaan bisnisnya berkembang pesat. Dan, pada 1991 Martua mampu memiliki kebun kelapa sawit sendiri seluas 7.100 hektar di Sumatera Utara. Di tahun yang sama pula ia berhasil membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit pertamanya. Pada 1996 Martua berekspansi ke Malaysia dengan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di sana.
Tak puas dengan itu, Martua mulai melirik bisnis hilir (produk turunan) yang lebih bernilai tinggi. Pada 1998 Martua untuk pertama kalinya membangun pabrik yang memproduksi specialty fats. Lalu pada tahun 2000 ia juga meluncurkan produk konsumsi minyak goreng bermerek Sania.
Selanjutnya, tahun demi tahun bisnis Martua makin membesar hingga menjadi salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Asia yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Per 31 Desember 2005, Wilmar memiliki total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 69.217 hektar, 65 pabrik, tujuh kapal tanker, dan 20.123 karyawan. Wilmar mengekspor produk-produknya ke lebih dari 30 negara. Puncaknya, Martua mencatatkan Wilmar di bursa efek Singapura pada Agustus 2006 dengan kapitalisasi pasar mencapai US$2 miliar.
Berkat keberhasilannya itu, sosok Martua Sitorus juga makin menonjol di pentas bisnis global. Majalah Forbes menempatkan Martua di urutan ke-14 dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia pada 2006. Kekayaan bersihnya ditaksir mencapai US$475 juta. “Palm Oil King”, begitu Forbes menyebut sosok Martua.
Derom Bangun, ketua harian Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), telah mengenal Martua lebih dari 10 tahun lalu. Dan, ia menilai Martua bisa sukses seperti sekarang karena terhitung pengusaha yang berani memasuki wilayah-wilayah bisnis baru. “Ia cukup berani mengambil risiko, sehingga dengan cepat pula ia mendapat peluang,” tuturnya.
Bungaran Saragih juga berpendapat senada. Mantan Menteri Pertanian itu juga telah lama mengenal Martua dan ia melihat Martua sebagai pengusaha muda yang sangat dinamis, banyak ide, dan kreatif. “Namun, ia memang tergolong orang yang low profile atau tak mau menonjol,” nilai guru besar IPB itu.
Seorang kawan baik Martua yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan semula Martua, yang memiliki nama panggilan A Hok, hanya dikenal sebagai pemasok kecil minyak kelapa sawit. “Ia banyak membeli minyak dari perusahaan perkebunan negara dan dijualnya lagi ke luar negeri,” paparnya. Namun, karena Martua yang juga bernama Thio Seng Hap ini memang sangat low profile, tak banyak pihak yang mengetahui kemajuan pesat bisnisnya. “Jadi, kami terkejut juga setelah melihat ia mampu menjadi pebisnis besar,” tuturnya.
Kawan baik Martua itu memperkirakan bisnis Martua bisa cepat membesar karena, selain memang agresif, ia berhasil menangkap peluang terbukanya penjualan minyak kelapa sawit hasil produksi perusahaan-perusahaan perkebunan negara yang sebelumnya, pada masa Orde Baru, hanya dikuasai oleh salah satu grup konglomerasi di Indonesia. Apalagi, karena bersifat ekspor, bisnis Martua tak terganggu oleh krisis moneter 1997. Sumber Warta Ekonomi menyebutkan jika perusahaan besar di Jakarta yang terkena krisis rata-rata harus memotong penghasilan karyawannya sebesar 2,5%, maka karyawan Wilmar justru memperoleh tunjangan krisis sebesar 2,5%.
Bermitra dengan Kuok Khoon Hong
Akan tetapi, Martua Sitorus tak sendirian dalam mengembangkan Wilmar Corporation. Pada akhir 1980-an, ia menjalin kemitraan dagang dengan Kuok Khoon Hong. Pria berusia 57 tahun ini adalah keponakan Robert Kuok, raja bisnis gula dan properti Malaysia. Keduanya sepakat untuk mengembangkan bisnis bersama-sama. Nama Wilmar sendiri disebut-sebut sebenarnya adalah singkatan dari kedua nama mereka, yaitu William, nama panggilan Kuok Khoon Hong, dan Martua Sitorus. Mereka berdua adalah pemilik signifikan Wilmar Holdings Pte Ltd (perusahaan holding Wilmar International Ltd). Keduanya berbagi tugas, Kuok Khoon Hong sebagai chairman & CEO dan Martua sebagai chief operating officer (COO) Wilmar International Ltd.
Keluarga besar Martua Sitorus juga berperan penting dalam mengembangkan Wilmar Corp. Istri (Rosa Taniasuri Ong), saudara laki-laki (Ganda Sitorus), saudara perempuan (Bertha, Mutiara, dan Thio Ida), dan ipar (Suheri Tanoto dan Hendri Saksti) Martua menduduki berbagai posisi kunci di Wilmar Corp. Bahkan, Hendri Saksti diberi kepercayaan menjadi kepala operasional bisnis Wilmar di Indonesia.
Hendri Saksti bukanlah orang baru di bisnis sawit. Presdir PT Cahaya Kalbar Tbk. ini mulai bergabung dengan Wilmar Corp. sebagai manajer cabang operasional bisnis minyak sawit Wilmar di Indonesia dan kemudian diangkat sebagai direktur keuangan operasional Wilmar di Indonesia pada 1996. Darius Na, mantan direktur PT Cahaya Kalbar Tbk., mengungkapkan sebelumnya Hendri juga sempat berkarier di PT Astra Agro Lestari Tbk. Darius menggambarkan sosok Hendri sebagai pebisnis yang cukup tegas dan memiliki visi bisnis untuk selalu berupaya memperbesar kapasitas. “Ia terhitung orang yang mengutamakan jumlah,” ungkapnya.
Kini, bisnis Martua dan Kuok Khoon Hong terus berkembang. Selama sembilan bulan pertama 2006, pendapatan Wilmar Corp. naik 7,8% menjadi US$3,7 miliar dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$3,4 miliar. Adapun laba bersihnya selama sembilan bulan pertama 2006 tumbuh 56,4% mencapai US$68,3 juta dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$43,6 juta.
Rencana Merger dan Bisnis Biodiesel
Saat ini ada dua isu yang mencuat mengenai Wilmar Corp. Pertama, rencana merger Wilmar dan lini bisnis Kuok Group, milik taipan Robert Kuok, di bidang agrobisnis (PPB Oil Palms Berhad, PGEO Group Sdn. Bhd., dan Kuok Oil & Grains Pte Ltd). Nilai transaksi merger itu mencapai US$2,7 miliar. Merger ini diperkirakan akan menjadikan Wilmar sebagai salah satu dari 15 perusahaan terbesar di bursa efek Singapura berdasarkan nilai kapitalisasi pasarnya. Sebab, merger ini ditaksir akan memberikan potensi kapitalisasi pasar Wilmar sebesar US$7 miliar. Merger ini diperkirakan juga akan menghasilkan kombinasi pendapatan US$10 miliar dan laba bersih US$300 juta selama sembilan bulan pertama 2006.
Sumber Warta Ekonomi menyebutkan langkah merger itu tak lepas dari situasi yang terjadi dalam keluarga taipan Robert Kuok. Konglomerat itu makin berusia lanjut, tetapi ia tidak merasa nyaman menyerahkan lini agrobisnis Kuok Group kepada anak-anaknya sehingga ia menoleh kembali kepada Kuok Khoon Hong, keponakannya. Pada awalnya, sebenarnya Kuok Khoon Hong adalah orang yang juga membesarkan lini agrobisnis Kuok Group. “Akan tetapi, karena ada perbedaan visi, Kuok Khoon Hong memilih keluar dari Kuok Group dan merintis bisnis sendiri bersama Martua Sitorus,” ujarnya. Kuok Khoon Hong mendapatkan pasokan minyak kelapa sawit dari Martua dan ia kemudian mengekspornya ke berbagai negara. “Dari kombinasi inilah embrio Wilmar muncul,” jelasnya.
Kedua, rencana ekspansi Wilmar ke bisnis biodiesel. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung menggebrak dengan membangun tiga pabrik biodiesel yang diagendakan akan selesai dibangun seluruhnya tahun ini. Masing-masing memiliki kapasitas produksi 350.000 ton per tahun sehingga total kapasitasnya mencapai 1,050 juta ton per tahun. Sejauh ini, belum ada pabrik biodiesel milik perusahaan lain di dunia yang memiliki kapasitas produksi sebesar Wilmar. Sebagai tambahan, apabila rencana merger itu terealisasi, maka pabrik biodiesel milik PGEO Group Sdn. Bhd. dengan kapasitas 100.000 ton per tahun akan makin memperkuat bisnis biodiesel Wilmar.
Menurut Alex Umboh, head of legal and corporate affairs Wilmar Corp. di Indonesia, bisnis biodiesel Wilmar sangatlah prospektif karena permintaan sudah banyak. Selain dari dalam negeri sendiri, permintaan juga datang dari Eropa, Cina, dan Amerika Serikat. Wilmar pun telah siap memasoknya. “Di kawasan industri Dumai itu (tempat ketiga pabrik biodiesel Wilmar berada), kami juga telah dilengkapi dengan pelabuhan dalam,” kata Alex. Jadi, Martua kini tak hanya pantas disebut “raja minyak sawit Asia”, tetapi juga layak disebut “raja biodiesel dunia”.
Selasa (9/1) lalu, lobi gedung Departemen ESDM di Jakarta tampak lebih ramai dari biasanya. Berkumpul di situ sejumlah menteri di bidang perekonomian, eksekutif puncak perusahaan besar, bankir papan atas, dan investor asing kelas kakap. Di antaranya ada Franky O. Widjaja (CEO PT SMART Tbk.), Edhie Widiono (dirut PT PLN), Agus Martowardojo (dirut Bank Mandiri), dan Sigit Pramono (dirut Bank BNI). Hadir pula sejumlah gubernur dan bupati dari berbagai daerah.
Ada apa gerangan?
Hari itu Kementerian ESDM sedang menggelar acara penting, yakni penandatanganan naskah kerja sama pengembangan bahan bakar nabati antarberbagai perusahaan, bank, investor, pemerintah daerah, lembaga penelitian, UKM, dan LSM yang sama-sama memiliki minat mengembangkan industri bahan bakar nabati nasional. Lebih dari 250 tamu undangan hadir menyaksikannya. “Ini saat yang bersejarah,” ujar Al Hilal Hamdi, ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati selaku penyelenggara acara.
Al Hilal agaknya tak berlebihan. Acara itu merupakan wujud nyata implementasi kebijakan energi nasional yang menargetkan pada tahun 2025 peranan jenis energi biofuel (bahan bakar nabati) terhadap konsumsi energi nasional menjadi lebih dari 5% (Peraturan Presiden No. 5/2006). Apalagi penandatanganan kerja sama itu menghasilkan total 67 kontrak komitmen investasi senilai US$12,4 miliar untuk pengembangan industri bahan bakar nabati nasional dari hulu (perkebunan) hingga hilir (pabrik).
Namun, ada yang lebih istimewa pada acara itu. Dalam kata sambutannya, Al Hilal Hamdi memberi perhatian khusus kepada perusahaan swasta, Wilmar Corporation, yang tengah membangun kompleks pabrik biodiesel (salah satu jenis biofuel) dengan kapasitas produksi 350 ribu ton per tahun dan akan meningkat hingga 1 juta ton per tahun pada akhir 2007. Kompleks pabrik yang berlokasi di Dumai, Riau, itu direncanakan akan mulai berproduksi pada Februari 2007. “Ini akan menjadi pabrik biodiesel terbesar di dunia dalam satu kompleks,” kata Al Hilal.
Siapakah Wilmar Corporation ini?
Sosok Wilmar dan Martua Sitorus
Di pentas bisnis nasional, nama kelompok usaha ini mungkin kurang familier. Padahal, Wilmar termasuk perusahaan agrobisnis terbesar di Asia, mulai dari penguasaan lahan, pabrik pengolahan, hingga perdagangannya. Dan, walaupun berbasis di Singapura, sejatinya sebagian besar aktivitas produksinya berada di Indonesia. Di negeri ini, Wilmar memiliki sekitar 48 perusahaan operasional. Salah satunya adalah PT Multimas Nabati Asahan, yang memproduksi minyak goreng bermerek Sania. Pada akhir 2005, kelompok usaha yang resminya bernama Wilmar International Limited ini memiliki total aset US$1,6 miliar, total pendapatan US$4,7 miliar, dan laba bersih US$58 juta.
Lebih dari itu, pendiri Wilmar adalah orang Indonesia bernama Martua Sitorus. Lelaki yang baru berusia 46 tahun ini berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia adalah sarjana ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara.
Awalnya Martua berdagang minyak sawit dan kelapa sawit kecil-kecilan di Indonesia dan Singapura. Lama-kelamaan bisnisnya berkembang pesat. Dan, pada 1991 Martua mampu memiliki kebun kelapa sawit sendiri seluas 7.100 hektar di Sumatera Utara. Di tahun yang sama pula ia berhasil membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit pertamanya. Pada 1996 Martua berekspansi ke Malaysia dengan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di sana.
Tak puas dengan itu, Martua mulai melirik bisnis hilir (produk turunan) yang lebih bernilai tinggi. Pada 1998 Martua untuk pertama kalinya membangun pabrik yang memproduksi specialty fats. Lalu pada tahun 2000 ia juga meluncurkan produk konsumsi minyak goreng bermerek Sania.
Selanjutnya, tahun demi tahun bisnis Martua makin membesar hingga menjadi salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Asia yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Per 31 Desember 2005, Wilmar memiliki total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 69.217 hektar, 65 pabrik, tujuh kapal tanker, dan 20.123 karyawan. Wilmar mengekspor produk-produknya ke lebih dari 30 negara. Puncaknya, Martua mencatatkan Wilmar di bursa efek Singapura pada Agustus 2006 dengan kapitalisasi pasar mencapai US$2 miliar.
Berkat keberhasilannya itu, sosok Martua Sitorus juga makin menonjol di pentas bisnis global. Majalah Forbes menempatkan Martua di urutan ke-14 dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia pada 2006. Kekayaan bersihnya ditaksir mencapai US$475 juta. “Palm Oil King”, begitu Forbes menyebut sosok Martua.
Derom Bangun, ketua harian Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), telah mengenal Martua lebih dari 10 tahun lalu. Dan, ia menilai Martua bisa sukses seperti sekarang karena terhitung pengusaha yang berani memasuki wilayah-wilayah bisnis baru. “Ia cukup berani mengambil risiko, sehingga dengan cepat pula ia mendapat peluang,” tuturnya.
Bungaran Saragih juga berpendapat senada. Mantan Menteri Pertanian itu juga telah lama mengenal Martua dan ia melihat Martua sebagai pengusaha muda yang sangat dinamis, banyak ide, dan kreatif. “Namun, ia memang tergolong orang yang low profile atau tak mau menonjol,” nilai guru besar IPB itu.
Seorang kawan baik Martua yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan semula Martua, yang memiliki nama panggilan A Hok, hanya dikenal sebagai pemasok kecil minyak kelapa sawit. “Ia banyak membeli minyak dari perusahaan perkebunan negara dan dijualnya lagi ke luar negeri,” paparnya. Namun, karena Martua yang juga bernama Thio Seng Hap ini memang sangat low profile, tak banyak pihak yang mengetahui kemajuan pesat bisnisnya. “Jadi, kami terkejut juga setelah melihat ia mampu menjadi pebisnis besar,” tuturnya.
Kawan baik Martua itu memperkirakan bisnis Martua bisa cepat membesar karena, selain memang agresif, ia berhasil menangkap peluang terbukanya penjualan minyak kelapa sawit hasil produksi perusahaan-perusahaan perkebunan negara yang sebelumnya, pada masa Orde Baru, hanya dikuasai oleh salah satu grup konglomerasi di Indonesia. Apalagi, karena bersifat ekspor, bisnis Martua tak terganggu oleh krisis moneter 1997. Sumber Warta Ekonomi menyebutkan jika perusahaan besar di Jakarta yang terkena krisis rata-rata harus memotong penghasilan karyawannya sebesar 2,5%, maka karyawan Wilmar justru memperoleh tunjangan krisis sebesar 2,5%.
Bermitra dengan Kuok Khoon Hong
Akan tetapi, Martua Sitorus tak sendirian dalam mengembangkan Wilmar Corporation. Pada akhir 1980-an, ia menjalin kemitraan dagang dengan Kuok Khoon Hong. Pria berusia 57 tahun ini adalah keponakan Robert Kuok, raja bisnis gula dan properti Malaysia. Keduanya sepakat untuk mengembangkan bisnis bersama-sama. Nama Wilmar sendiri disebut-sebut sebenarnya adalah singkatan dari kedua nama mereka, yaitu William, nama panggilan Kuok Khoon Hong, dan Martua Sitorus. Mereka berdua adalah pemilik signifikan Wilmar Holdings Pte Ltd (perusahaan holding Wilmar International Ltd). Keduanya berbagi tugas, Kuok Khoon Hong sebagai chairman & CEO dan Martua sebagai chief operating officer (COO) Wilmar International Ltd.
Keluarga besar Martua Sitorus juga berperan penting dalam mengembangkan Wilmar Corp. Istri (Rosa Taniasuri Ong), saudara laki-laki (Ganda Sitorus), saudara perempuan (Bertha, Mutiara, dan Thio Ida), dan ipar (Suheri Tanoto dan Hendri Saksti) Martua menduduki berbagai posisi kunci di Wilmar Corp. Bahkan, Hendri Saksti diberi kepercayaan menjadi kepala operasional bisnis Wilmar di Indonesia.
Hendri Saksti bukanlah orang baru di bisnis sawit. Presdir PT Cahaya Kalbar Tbk. ini mulai bergabung dengan Wilmar Corp. sebagai manajer cabang operasional bisnis minyak sawit Wilmar di Indonesia dan kemudian diangkat sebagai direktur keuangan operasional Wilmar di Indonesia pada 1996. Darius Na, mantan direktur PT Cahaya Kalbar Tbk., mengungkapkan sebelumnya Hendri juga sempat berkarier di PT Astra Agro Lestari Tbk. Darius menggambarkan sosok Hendri sebagai pebisnis yang cukup tegas dan memiliki visi bisnis untuk selalu berupaya memperbesar kapasitas. “Ia terhitung orang yang mengutamakan jumlah,” ungkapnya.
Kini, bisnis Martua dan Kuok Khoon Hong terus berkembang. Selama sembilan bulan pertama 2006, pendapatan Wilmar Corp. naik 7,8% menjadi US$3,7 miliar dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$3,4 miliar. Adapun laba bersihnya selama sembilan bulan pertama 2006 tumbuh 56,4% mencapai US$68,3 juta dibanding periode yang sama 2005 sebesar US$43,6 juta.
Rencana Merger dan Bisnis Biodiesel
Saat ini ada dua isu yang mencuat mengenai Wilmar Corp. Pertama, rencana merger Wilmar dan lini bisnis Kuok Group, milik taipan Robert Kuok, di bidang agrobisnis (PPB Oil Palms Berhad, PGEO Group Sdn. Bhd., dan Kuok Oil & Grains Pte Ltd). Nilai transaksi merger itu mencapai US$2,7 miliar. Merger ini diperkirakan akan menjadikan Wilmar sebagai salah satu dari 15 perusahaan terbesar di bursa efek Singapura berdasarkan nilai kapitalisasi pasarnya. Sebab, merger ini ditaksir akan memberikan potensi kapitalisasi pasar Wilmar sebesar US$7 miliar. Merger ini diperkirakan juga akan menghasilkan kombinasi pendapatan US$10 miliar dan laba bersih US$300 juta selama sembilan bulan pertama 2006.
Sumber Warta Ekonomi menyebutkan langkah merger itu tak lepas dari situasi yang terjadi dalam keluarga taipan Robert Kuok. Konglomerat itu makin berusia lanjut, tetapi ia tidak merasa nyaman menyerahkan lini agrobisnis Kuok Group kepada anak-anaknya sehingga ia menoleh kembali kepada Kuok Khoon Hong, keponakannya. Pada awalnya, sebenarnya Kuok Khoon Hong adalah orang yang juga membesarkan lini agrobisnis Kuok Group. “Akan tetapi, karena ada perbedaan visi, Kuok Khoon Hong memilih keluar dari Kuok Group dan merintis bisnis sendiri bersama Martua Sitorus,” ujarnya. Kuok Khoon Hong mendapatkan pasokan minyak kelapa sawit dari Martua dan ia kemudian mengekspornya ke berbagai negara. “Dari kombinasi inilah embrio Wilmar muncul,” jelasnya.
Kedua, rencana ekspansi Wilmar ke bisnis biodiesel. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung menggebrak dengan membangun tiga pabrik biodiesel yang diagendakan akan selesai dibangun seluruhnya tahun ini. Masing-masing memiliki kapasitas produksi 350.000 ton per tahun sehingga total kapasitasnya mencapai 1,050 juta ton per tahun. Sejauh ini, belum ada pabrik biodiesel milik perusahaan lain di dunia yang memiliki kapasitas produksi sebesar Wilmar. Sebagai tambahan, apabila rencana merger itu terealisasi, maka pabrik biodiesel milik PGEO Group Sdn. Bhd. dengan kapasitas 100.000 ton per tahun akan makin memperkuat bisnis biodiesel Wilmar.
Menurut Alex Umboh, head of legal and corporate affairs Wilmar Corp. di Indonesia, bisnis biodiesel Wilmar sangatlah prospektif karena permintaan sudah banyak. Selain dari dalam negeri sendiri, permintaan juga datang dari Eropa, Cina, dan Amerika Serikat. Wilmar pun telah siap memasoknya. “Di kawasan industri Dumai itu (tempat ketiga pabrik biodiesel Wilmar berada), kami juga telah dilengkapi dengan pelabuhan dalam,” kata Alex. Jadi, Martua kini tak hanya pantas disebut “raja minyak sawit Asia”, tetapi juga layak disebut “raja biodiesel dunia”.