Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah shollahu’alaihiwasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah rezeki dengan baik. Sesungguhnya tidak ada jiwa yang mati kecuali sesudah menghabiskan jatah rezekinya. Meskipun rezeki tersebut tidak kunjung datang, hendaklah kalian tetap bertakwa kepada Allah dan mencari rezeki dengan baik. Ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (HR. Ibnu Majah, Shahih, lihat Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab Al-Aziz hal. 330)

2 Desember 2012

Hukum Meminta Bantuan Jin


Bagaimana hukum meminta tolong kepada jin? Apakah dalam pandangan agama diperbolehkan ataukah dilarang? Jika hal itu diperbolehkan apakah kita diperbolehkan untuk meminta tolong dalam segala urusan atau dalam urusan tertentu saja?



Sungguh sangat membuat hati pilu, mana kala kita melihat kondisi masyarakat yang terjadi di negeri kita ini yang notabennya adalah negeri terbanyak penduduk Islamnya didunia, akan tetapi masih banyak dikalangan mereka yang gemar dengan jimat-jimat, susuk pengikat, penglaris, dan komodoti keghaiban lain yang laris diburu orang. Dari pejabat hingga rakyat jelata, bahkan sampai selebritis. Semuanya rela mengeluarkan ‘kocek’ yang tidak sedikit-bahkan terkadang tumbal kematian keluarganya sekalipun-demi tujuan duniawi yang fana ini. Bahkan seandainya mereka mau meyadari bahwa sejatinya apa yang mereka lakukan tidak lain adalah penghambaan kepada jin.
Fenomena Yang Aneh Tapi Nyata
Sebagai mana telah diketahui secara pasti tentang Aqidah Islamiyah, bahwasanya perkara ghaib urusan dan ilmunya ada disisi Allah Ta’âlâ, sebagai mana firman-Nya,
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَما يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”(An-Naml: 65)
Namun parahnya banyak pihak-pihak yang mereka mengaku  ahli dalam permasalahan gaib macam paranormal yang mana mereka menampakkan diri sebagai pawang jin dan pawang alam gaib, tak kalah juga para dukun yang mereka berbaju layaknya seorang kiai dengan dibungkus sorbannya mereka melelang ilmunya untuk mendapatkan pamor dan pangkat duniawi. Namun sungguh sangat miris mereka yang berani dan berlagak pintar dalam masalah ini menjadi seorang yang mendapatkan sanjungan selangit.
Kebal senjata, terbang, memukul dari jarak jauh, berjalan diatas air, dan bisa muncul kapan saja sesuai dengan yang diinginkan seolah-olah adalah kesaktian tingkat tinggi. Padahal para pelakunya tak lain adalah para khadam dan budak-budak setan.
Syeikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata: “Banyak diantara mereka yang bisa terbang di udara, dan dibawa pula oleh Setan (ke berbagai tempat), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat, dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan oleh Allah Subhânahu wata’âlâ, serta menghalalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah Subhânahu wata’âlâ dan Rasul-Nya. Setan bersedia membantunya karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali ketika dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten diatas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. (jika demikian keadaannya) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain. Dan aku mengenal banyak orang yang melakukan demikian di Syam, Mesir, Hijaz dan Yaman. Adapun di Jazirah Iraq, khurasân, dan Rûm lebih banyak terjadi dari pada negeri Syam dan selainnya. Dan tentunya dinegeri-negeri kafir  dari kalangan kaum musyrikin dan Ahli kitab tentu lebih banyak lagi.”[1]
Tema tentang alam jin pun semakin laris manis dalam pentas sinetron, sandiwara radio, atau publikasi lainnya baik cetak maupun elektronik. Bahkan perkara ghaib menjadi sebuah pertunjukan yang yang bisa di panca inderakan. Sungguh liciknya Iblis dan bala tentaranya dalam menggunakan kemajuan teknologi sebagai sarana untuk menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan Allah. Media masa menjadi sarana untuk menggiring umat Islam agar mereka terjatuh kedalam neraka Sa’ir.

Hikmah Diciptakannya Jin  Dan Manusia
Allah menciptakan jin dan manusia untuk sebuah hikmah yang mulia, hikmah yang karenanya diturunkan kitab-kitab dan diutus para nabi dan para rasul, dengannya juga ditegakkan panji jihad, dan dengannya seorang akan masuk kedalam sorga atau neraka.
Allah Ta’âlâ berfirman,
وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzâriyât: 65)
Hikmah ini untuk menjelaskan apa yang telah difirmankan Allah Ta’âlâ,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدىً
“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyâmah: 36)
Al-Imâm Mujâhid, Al- Imâm Asy-Syâfi’î, dan Al- Imâm Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Sia-sia artinya tidak diperintahkan dan tidak dilarang.”[2]
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh menjelaskan: “Sungguh Allah telah memberi tahukan, bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi serta segala apa yang ada didalamnya dengan benar dan tidak lah Allah menciptakan semuanya dengan sia-sia, sebagai mana dugaan orang-orang kafir.”[3]
Asy-Syeikh Muhammad binShâlih Al-Utsaimin rahimahullâh berkata: “Barang siapa menyimpang dari (jalan) Rabnya dan menyombangkan diri dari beribadah kepada-Nya, maka sungguh dia telah menolak hikmah diciptakannya dirinya, dimana Allah telah menciptakannya untuk beribadah kepada-Nya. Namun perbuatannya seolah-olah mempersaksikan bahwa dia telah diciptakan dalam keadaan sia-sia dan tidak berarti, meskipun lesannya tidak mengucapkannya secara langsung. Inilah bentuk penyimpangan dan kesombongan dari ketaatan kepada Allah.”[4]
Tugas Jin Dan Manusia
Dari keterangan diatas semakin jelaslah, bahwa jin dan manusia memilki tugas yang sama dihadapan Allah Ta’âlâ. Suatu tugas yang apabila dikerjakan akan menjadikan suatu kemuliaan disisi Allah, menjadi seorang yang adil, dan penegak keadilan dimuka bumi. Namun apabila diabaikan akan menjadi orang yang paling celaka dan paling dzalim, serta dia akan menjadi penegak kedzalilam dimuka bumi.
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyatakan, “Allah telah memberitakan bahwa tujuan penciptaan dan perintah adalah agar Allah Ta’âlâ diketahui dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta agar Allah semata yang disembah, tidak disekutukan dengan sesuatupun. Dan agar manusia berbuat adil yang mana dengan keadilan tersebut akan menjadi tegak langit dan bumi. Sebagai mana firman Allah Ta’âlâ,
لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَأَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَالْمِيزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadîd: 25)
Allah Ta’âlâ memberitakan bahwa dia mengutus para Rasul dan menurunkan kitab agar manusia berbuat adil. Dan keadilan yang paling besar adalah mentauhidkan Allah. Dengan ketauhidan itulah tonggak dan puncak dari keadilan. Sesungghunya kesyirikan itu adalah sebuah kedzaliman, sebagai mana firman Allah Ta’âlâ,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.(Luqmân: 13)
Kesyirikan adalah kezaliman terbesar dan tauhid adalah keadilan yang terbesar. Maka segala hal yang akan menghilangkan maksud ini, yaitu tauhid, maka perkara tersebut merupakan dosa yang paling besar.[5]
Tugas yang sejati itu adalah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.
Rasûlullâh shallallâhu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً
Artinya, “Sesungguhnya Iblis meletakkan singga sananya diatas air, lalu (dari tempat itu) ia mengutus bala tentaranya. Dan orang yang paling dekat kedudukannya disis Iblis adalah orang yang paling besar menimbulkan fitnah.[6]

Tolong Menolong Adalah Ibadah
Manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, prang miskin butuh bantuan orang kaya, orang lemah mebutuhkan bantuan orang yang kuat, orang yang sakit membutuhkan bantuan orang yang sehat, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, Allah Ta’âlâ dengan kebijaksanaan-Nya telah meletakkan sebuah prinsip yang sangant agung yaitu tolong menolong diatas kebaikan dan ketaqwaan dan mengharamkan tolong menolong dalam perkara dosa dan permusuhan, sebagaimana firman-Nya,
وَتَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Mâidah: 2)

Dan sabda Rasul shallallâhu’alaihi wasallam,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa yang menolong seorang mu’min dari kesulitan dunia, maka Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan dunia dan akherat. Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi seseorang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan semua urusannya di dunia dan diakherat. Allah selalu menong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya”[7]
Dari ayat-ayat dan hadits diatas sangat jelaslah bahwa tolong menolong dalam kebaikan adalah merupakan ibadah kepada Allah. Maka ibadah haruslah dibangun diatas dua pondasi besar yaitu Ikhlas dan Mutaba’ah (mencontoh Rasûlulâh shallallâhu’alaihi wasallam. Bila salah satu dari kedua dasar ini gugur, walaupun perbuatan tersebut bentuknya ibadah, niscaya tidak akan diterima oleh Allah Ta’âlâ, Rasul shallallâhu’alaihi wasallam telah menjelaskan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada tuntunannya dariku, maka amalan tersebut tertolak.”[8]
Hukum Meminta Tolong Kepada Selain Allah
Meminta tolong (Al-Isti’ânah) adalah sebuah ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Allah berfirman,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“  Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Fâtihah: 5)
Rasûlullâh shallallâhu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan apabila kamu meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.”[9]
Apakah larangan meminta tolong kepada selain Allah itu muthlaq ataukah perlu dirinci?
Jawabannya adalah perlu dirinci:
  • Apabila meminta pertolongan kepada selain Allah dalam perkarayang tidak ada yang mampu melakukan-Nya melainkan Allah, maka meminta tolong kepada selain Allah dalam hal ini adalah syirik.
  • Bila dalam perkara yang mana manusia sanggup untuk melakukannya, maka humnya perlu juga untuk dirinci:
    1. Bila dalam perkara yang baik, hal itu diperbolehkan sebagai mana telah dijelaskan diatas.
    2. Bila dalam perkara yang jahat, maka hal itu diharamkan.[10]

Bolehlah Meminta Tolong Kepada Jin?
Inilah yang menjadi pembahasan pokok yang kita bicarakan, yaitu bagaimana hukum meminta tolong kepada jin? Apakah dalam pandangan agama diperbolehkan ataukah dilarang? Jika hal itu diperbolehkan apakah kita diperbolehkan untuk meminta tolong dalam segala urusan atau dalam urusan tertentu saja?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-Utsaimin menjelaskan: “Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa meminta bantuan kepada jin ada tiga bentuk:
Pertama: meminta bantuan dalam perkara ketaatan kepada Allah, seperti menjadi pengganti dalam menyampaikan permasalahan agama. Contohnya, apabila seseorang memilki teman jin yang beriman jin tersebut mengambil ilmu darinya, yaitu belajar darinya, kemudian setelah itu jin tersebut dijadikan sebagai dai yang berdakwah dihadapan kaumnya atau menjadikannya sebagai pembantu dalam ketaatan kepada Allah, maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Bahkan terkadang menjadi sesuatu yang terpuji  dan termasuk dakwah kepada Allah. Sebagai mana telah terjadi bahwa sekumpulan jin menghadiri majelis Rasûlullâh shallallâhu’alaihi wasallam dan dibacakan kepada mereka Al-Qur’ân. Selanjutnya mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Dikalangan jin sendiri terdapat orang-orang yang shalih, ahli ibadah, zuhud, dan adapula dari kalangan para ulama, karena orang yang akan membri peringatan semestinya mengetahui tentang apa yang dibawanya, dan dia adalah seorang yang taat kepada Allah azza wa jalla didalam memberikan peringatan tersebut.
Kedua: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diperbolehkan. Hal ini diperbolehkan, dengan syarat hanya sebagai wasilah (sarana) dalam mencapai perkara yang diperbolehkan, namun apabila jin tersebut tidak memberikan bantuan kecuali dengan kita mendekatkan dirinya baik dengan sujud, atau selainnya maka ini adalah sesuatu yang diharamkan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah riwayat bahwa Umar  radhiyallâhu’anhu terlambat dalam sebuah perjalanan hingga mengganggu pikiran Abu Mûsa radhiyallâhu’anhu. Kemudian mereka berkata kepada Abu Mûsa radhiyallâhu’anhu:“Sesungguhnya diantara penduduk negeri itu ada seorang wanita yang memilki teman dari kalangan jin. Bagaimana kalau wanita itu diperintahkan agar mengutus temannya untuk mencari kabar dimana posisi Umar  radhiyallâhu’anhu?” lalu dia melakukannya, kemudian jin itu datang dan mengatakan: “Amiril mu’minin tidaka apa-apa dan dia sedang memberikan tanda dari onta shodaqoh di tempat orang itu.” Inilah bentuk meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara yang diperbolehkan.
Ketiga: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diharamkan seperti mengambil harta orang lain, menakut-nakuti mereka atau yang lainnya. Maka hal ini sangat diharamkan dalam agama. Kemudian apabila menggunakan cara kesyirikan maka meminta tolong kepada mereka adalah bentuk syirik, apabila wasilah tersebut tidak syirik maka akan menjadi perkara yang maksiat. Seperti apabila ada jin yang fasiq berteman dengan jin yang fasiq, lalu manusia tersebut meminta bantuan dalam berkara dosa dan maksiat. Maka meminta bantuan yang seperti ini hukumnya maksiat dan tidak sampai kepada derajat syirik.[11]
Asy-Syaikh Muqbil menyatakan, “Ada-pun masalah tolong menolong dengan jin, Allah Azza Wajalla telah menjelaskan didalam firman-Nya,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Mâidah: 2)
Boleh bekerja sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang perlu anda ketahui tentang mereka, bahwa (jin) tersebut bukanlah setan yang secara perlahan membantumu kemudian menjatuhkan dirimu kedalam perkara maksiat dan menyelisihi agama Allah. Dan telah didapati, bukan hanya satu orang dari kalangan ulama yang mereka dibantu oleh jin.”[12]
Al-Lajnah Ad-Dâimah (Lembaga Riset Dan Fatwa Kerajaan Saudi) menjelaskan: “Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung dalam menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada seseorang atau memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada Allah dan termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan terkabulnya segala permintaan dan tertunaikannya segala hajat, termasuk dari ketegori Al-Istimta’(bersenang-senang) dengan mereka. Perbuatan ini terjadi dengan cara mengagungkan mereka, berlindung kepada mereka, dan kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan segala yang dibutuhkan. Allah Azza Wajalla berfirman,
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعاً يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقالَ أَوْلِياؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنا
“ Dan (Ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu Telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya sebahagian daripada kami Telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami Telah sampai kepada waktu yang Telah Engkau tentukan bagi kami”. (Al-An’âm: 128)

وَأَنَّهُ كانَ رِجالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزادُوهُمْ رَهَقاً
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)
Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau untuk melindunginya dari kejahatan orang-orang jahat, hal ini termasuk dari kesyirikan. Barang siapa demikian keadaannya, niscaya tidak akan diterima shalat dan puasanya, berdasarkan firman Allah,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-zumar: 65)
Barang siapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan janazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.”[13]
Kesimpulan:
Meminta bantuan kepada jin adalah perkara yang boleh selama bukan dalam perkara maksiat kepada Allah. namun kendati pun demikian, kami memandang agar hal itu dihindari pada zaman ini, mengingat kebodohan yang sangat menyelimuti umat. Sehingga banyak diantara mereka yang tidak mengerti tentang perkara yang mubah maupun perkara yang mengandung maksiat, serta ketidak tahuan mereka tentang tata cara yang boleh atau yang melanggar agama. Sedangkan apabila meminta tolong dalam perkara maksiat, maka itu dapat menjatuhkan pelakunya kedalam keharaman bahkan bisa terjatuk kedalam kekafiran yang mengeluarkan dari agama. Wa’iyadzubillâh.
Wallâhu A’lam


[1]  Majmû’ Al-Fatâwâ: 11/250.
[2]  Tafsir Ibnu Katsîr: 4/474, Tafsir Ibnul Qayyim: hal.504, Miftâh Dâr As-Sa’âdah: 2/213.
[3]  Majmû’ Fatâwâ: 16/174.
[4]  Fatâwâ ‘Aqîdah Wa Arkânul Islâm: hal 88 masalah 59.
[5]  Al-Jawâbul Kâfî: hal.109.
[6]  HR. Muslim no. 2813 dari shahabat Jâbir bin Abdillâh.
[7]  HR. Muslim no.2699 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu’anhu.
[8]  HR. Muslim: no.1718 dari Aisyah radhiyallâhu’anhâ.
[9]  HR. At-Tirmidzî: 2518 dan Ahmad: 2804 dari sahabat Abdullah bin Abbas.
[10]  Syarah Utsûluts Tsalatsah, syaikh Ibnu Utsaimin, hal.58.
[11]  Al-Qaulul Mufîd hal.276-277. Fatâwâ Aqîdah Wa Arkânil Islâm hal.212. Majmû’ Fatâwâ: 11/162.
[12]  Tuhfatul Mujîb, hal.371.
[13]  Fatâwâ Al-Lajnah Ad-Dâimah: 1/162-163.


Disebarluaskan oleh : www.klik-fe.blogspot.com
Baarakallahu fiikum, Jazakumullahu khairan atas kunjungannya dan Semoga bermanfaat.

Hakikat dan Kedudukan Tauhid


Hikmah diutusnya para Rasul adalah untuk menyeru kepada tauhid, dan melarang kemusyrikan. Barangsiapa belum melaksanakan tauhid ini, belumlah ia beribadah(menghamba) kepada Allah. Disinilah letak pengertian firman Allah Ta`ala (yang artinya): Dansekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah. (Al Kafirun:3)

Allah ta’ala berfirman di dalam surat adz-dzariyat ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون(الذريات:56)
 “Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.  Adz –Dzariyat: 56 ).
Yang dimaksud ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah ta’ala dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan inilah hakekat agama Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.
Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah sebagai ibadah apabila diniati dengan ikhlas karena Allah semata dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت(النحل:36)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut”  (QS.  An – Nahl: 36).
Ibadah adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid ini. Barang siapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum beribadah (menghamba) kepada  Alloh Tabaroka waSubhanahu wa Ta’ala inilah sebenarnya makna firman Alloh :
ولا أنتم عابدون ما أعب
        “Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah” (QS. Al Kafirun, 3)
Yang dimaksud dengan thoghut ialah : setiap yang diagungkan  – selain Allah – dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi ; baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia ataupun setan. Menjauhi thoghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan cara apapun. Masalah yang sangat penting adalah : bahwa ibadah kepada Alloh Ta’ala tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thoghut. Dan inilah maksud dari firman Alloh Ta’ala :
فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى
“Barang siapa yang mengingkari thoghut dan beriman kepada Alloh, maka ia benar benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat” (QS. Al Baqarah, 256).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
 “Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al – Isra’: 23-24).
Ayat-ayat Muhkamat yang tersebut dalam surah Al-Isra` di atas, mengandung delapan belas masalah, dimulai dengan firman Allah (yang artinya): Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela. (Al-Isra`:22) Dan diakhiri dengan firman-Nya (yang artinya): Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan ke dalam neraka jahannam dalam keadaan tercela lalu dijauhkan (dari rahmat Allah). (Al-Isra`:39) Serta Allah mengingatkan kepada kita akan pentingnya masalah-masalah ini dengan firman-Nya (yang artinya): Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. (Al-Isra`:39)
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 “Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah         (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” ( QS. Al  An’am: 151-153).
Ketiga ayat muhkamat yang tersebut dalam surah Al-An`am di atas penting kedudukannya menurut kaum salaf; terkandung di dalamnya sepuluh masalah, yang pertama adalah larangan terhadap perbuatan syirik.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam yang tertera di atasnya  cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah ta’ala :  “Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain. (Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim ) ”
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata:
(( كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ  عَلَى حِمَارٍ، فَقَالَ لِيْ: يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ: (( لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا ))
“Aku pernah diboncengkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku:  “wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda: “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya: “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang? beliau menjawab: “Jangan engkau lakukan itu, karena khawatir mereka nanti bersikap pasrah.” (HR. Bukhari, Muslim).
Riwayat da atas tidak diketahui oleh sabagian besar para Sahabat, karena Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam menyuruh Mu`adz agar tidak memberitahukannya kepada mereka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah sehingga tidak mau berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shaleh.  Maka Mu`adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa.  Oleh sebab itu, di masa hidup Mu`adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.
Disebarluaskan oleh http://klik-fe.blogspot.com/
Sumber : www.kajiansalaf.com

Baarakallahu fiikum, Jazakumullahu khairan atas kunjungannya dan Semoga bermanfaat.

SCANNING

DOA & MAKLUMAT PRAKTISI RUQYAH SELURUH DUNIA
BISMILLAH.
Wahai seluruh kuman, bakteri, virus yang merusak tubuh, juga seluruh penyakit fisik, seluruh emosi negatif, seluruh gangguan jin dan sihir!
Kami perintahkan atas Nama Allah yang Maha Kuasa! Keluar saat ini juga dari tubuh saudara kami yang sekarang sedang mendengarkanlantunan Firman Allah dan doa Rasulullah, karena rasa takut kalian kepada murka Allah!
Kepada seluruh sel tubuh, semua hormon, setiap energi tubuh manusia yang saat ini mendengar lantunan Firman Allah dan doa Rasulullah ! Sekarang juga perbaikilah kondisi tubuh kalian hingga sehat sempurna!
Dengan Izin Allah Terjadilah, Terjadilah, Terjadilah pada detik ini juga, Aamiin Ya Rabbul Alamin

Kajian Tentang Ruqyah Syariah